Jakarta, 10 Oktober 2025 — Fenomena perceraian di Indonesia masih berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Data dari berbagai Pengadilan Agama di seluruh wilayah, termasuk Blitar, Kampar, dan Sungai Penuh, menunjukkan bahwa meskipun di beberapa daerah terjadi penurunan, secara umum, ribuan rumah tangga berakhir di meja hijau setiap semester. Faktor penyebab perceraian tetap didominasi oleh masalah internal dan tekanan eksternal yang dipicu oleh isu pasca-pandemi.
Hingga pertengahan tahun 2025, misalnya di Pengadilan Agama Blitar, lebih dari 1.300 pasangan telah diputus cerai. Sebuah tren yang konsisten terlihat di hampir semua wilayah adalah dominasi gugatan yang diajukan oleh pihak istri (cerai gugat), bahkan mencapai 72,3% dari total kasus di Blitar.
Tiga Alasan Utama Perpisahan
Sepanjang tahun 2024 hingga 2025, tiga faktor utama terus menjadi biang keladi retaknya rumah tangga di Indonesia:
1. Perselisihan dan Pertengkaran Terus-Menerus
Ini adalah penyebab perceraian yang paling dominan dan konsisten. Faktor ini, yang sering disebut sebagai “cekcok tak berkesudahan,” mencakup ketidakmampuan pasangan untuk mengelola konflik dan mempertahankan komunikasi yang sehat. Perselisihan yang berkepanjangan sering dipicu oleh masalah kecil yang menumpuk hingga berujung pada kelelahan emosional dan keputusan untuk berpisah.
2. Faktor Ekonomi (Ketidakstabilan Finansial)
Masalah finansial menempati posisi kedua sebagai pemicu perceraian. Ketidakstabilan pendapatan, pengangguran, ketidakmampuan suami memenuhi nafkah, hingga masalah utang dan kebiasaan buruk seperti Judi Online (Judol) dan Pinjol (pinjaman online), semuanya menciptakan tekanan luar biasa dalam rumah tangga, yang banyak di antaranya merupakan dampak lanjutan dari kesulitan ekonomi pasca-pandemi.
3. Meninggalkan Salah Satu Pihak
Ketidakharmonisan juga sering terjadi akibat salah satu pasangan yang pergi tanpa izin atau tanpa kabar (tidak menjalankan kewajiban). Situasi ini menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan yang parah, dan menjadi alasan utama ketiga tertinggi dalam catatan Pengadilan Agama.
Tantangan Mental dan Kesiapan Emosional
Di luar faktor utama di atas, para ahli menyoroti dua isu sosial yang berkontribusi pada tingginya angka perpisahan:
- Kesiapan Usia Muda: Kementerian Agama (Kemenag) mencatat bahwa kelompok usia pernikahan dini atau pasangan muda (22–24 tahun) rawan menghadapi konflik karena ketidaksiapan mental, emosional, dan rendahnya manajemen konflik. Kemenag saat ini tengah merancang skema bimbingan pranikah baru untuk memetakan dan menekan angka perceraian di wilayah-wilayah berisiko tinggi.
- Dampak Pasca-Perceraian: Bagi pihak yang bercerai, terutama wanita, dampak yang dirasakan seringkali berat. Mereka tidak hanya menghadapi perubahan status dan peran, tetapi juga kesulitan penyesuaian diri dan tantangan ekonomi yang lebih rumit, terutama bagi yang berjuang menjadi orang tua tunggal dengan penghasilan rendah.
Pengadilan agama terus berupaya menekan angka perceraian melalui jalur mediasi. Namun, data menunjukkan bahwa semakin banyak pasangan yang melihat perceraian sebagai jalan akhir untuk mengakhiri hubungan yang tidak sehat.































