JAKARTA, 15 Oktober 2025 – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang membidangi urusan hukum, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) penting hari ini. RDP tersebut melibatkan mahasiswa dari berbagai universitas untuk secara khusus membahas kedudukan dan status Qanun Aceh dalam kerangka pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Pertemuan ini menyoroti kompleksitas Hukum Acara Pidana (HAP) di Indonesia yang harus mengakomodasi otonomi khusus Aceh, di mana Qanun (Peraturan Daerah berbasis Syariat) memiliki kekuatan hukum yang unik.
Mencari Titik Temu Hukum Nasional dan Hukum Syariat
Tujuan utama pembahasan ini adalah mencari titik temu antara sistem hukum pidana nasional yang akan diatur dalam RKUHAP dengan hukum syariat yang berlaku di Aceh. Mahasiswa didorong untuk memberikan masukan kritis mengenai bagaimana RKUHAP dapat:
- Menghormati Kekhususan Aceh: Memastikan RKUHAP tidak mengebiri atau melemahkan status Qanun Aceh sebagai peraturan yang sah.
- Menciptakan Keselarasan: Merumuskan mekanisme agar proses penegakan hukum pidana di Aceh dapat berjalan selaras antara ketentuan RKUHAP dan penerapan Qanun.
Diskusi ini sangat krusial mengingat RKUHAP akan menjadi payung hukum utama di Indonesia. Keberhasilan Komisi III dalam merumuskan pasal-pasal yang mengakomodasi Qanun Aceh akan menjadi preseden penting bagi pengakuan dan penghormatan terhadap kekhususan daerah dalam sistem hukum nasional.