JAKARTA, 17 Oktober 2025 – Dalam perkembangan terbaru terkait hukum perdata, terdapat seruan agar hakim memiliki analisis yang lebih subjektif dalam menilai besaran kerugian immaterial pada kasus penghinaan atau pencemaran nama baik. Hakim diminta secara khusus untuk mempertimbangkan pangkat, kedudukan sosial, dan profesi dari pihak yang menjadi korban.
Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa kerugian reputasi dan harga diri yang diderita oleh seseorang yang memiliki kedudukan tinggi (seperti pejabat publik, profesional, atau tokoh terkemuka) cenderung lebih besar dan memiliki dampak yang lebih luas dibandingkan korban pada umumnya.
Kenapa Pangkat dan Kedudukan Perlu Dipertimbangkan?
Penilaian kerugian immaterial (seperti rasa malu, turunnya wibawa, atau gangguan psikologis) bersifat kualitatif dan sulit diukur dengan uang. Namun, memasukkan faktor kedudukan korban dapat memberikan keadilan yang lebih substantif:
- Dampak Karir dan Profesional: Kerugian immaterial bagi pejabat atau profesional seringkali langsung memengaruhi integritas profesional dan potensi karier mereka. Penghinaan dapat merusak kepercayaan publik atau kolega, yang merupakan aset utama dalam profesi tertentu.
- Skala Publikasi: Penghinaan terhadap tokoh publik atau pejabat cenderung mendapatkan publikasi yang lebih luas dan masif (terutama di media massa dan sosial). Dengan demikian, kerugian reputasi yang diderita juga memiliki skala yang lebih besar dan membutuhkan upaya pemulihan yang lebih mahal.
- Wibawa dan Kepercayaan: Bagi pemegang jabatan publik, wibawa dan kepercayaan masyarakat adalah modal fundamental. Kerugian wibawa akibat penghinaan adalah kerugian immaterial yang harus dihargai secara signifikan.
Tantangan bagi Hakim
Meskipun prinsipnya adil, penerapan penilaian subjektif ini menempatkan tantangan besar bagi hakim:
- Hakim harus menetapkan parameter yang jelas agar penilaian subjektif ini tidak terkesan arbitrer atau bias terhadap status sosial.
- Diperlukan alat bukti pendukung (seperti keterangan ahli psikologi, ahli reputasi, atau bukti penurunan kepercayaan publik) untuk menguatkan klaim kerugian immaterial yang diajukan oleh korban berkedudukan tinggi.
Penekanan ini bertujuan agar putusan pengadilan perdata tidak hanya berorientasi pada aspek hukum formal, tetapi juga sensitif terhadap realitas sosial dan hierarki yang memengaruhi seberapa parah kerugian immaterial yang diderita korban.