TEHERAN / WASHINGTON D.C., JUNI 2025 – Ketegangan di Timur Tengah mencapai titik kritis setelah Amerika Serikat (AS), di bawah Presiden Donald Trump, mengklaim telah melancarkan serangan udara yang sukses dan menghancurkan beberapa fasilitas nuklir utama Iran pada Sabtu, 21 Juni 2025. Klaim ini segera dibalas dengan ancaman serius dari Iran, yang menegaskan akan ada konsekuensi berat atas tindakan tersebut.
Serangan ini terjadi di tengah konflik yang sudah memanas antara Iran dan Israel, dengan AS secara eksplisit menyatakan keterlibatannya untuk membantu Israel.
Klaim AS dan Respon Iran
- Klaim AS: Presiden Trump mengumumkan bahwa AS telah menjatuhkan bom (bunker buster) secara penuh ke tiga lokasi nuklir utama Iran, yaitu di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Trump menyebut serangan tersebut sangat berhasil dan bertujuan melumpuhkan program nuklir Teheran.
- Ancaman Balasan Iran: Iran segera merespons dengan kecaman keras, menyebut tindakan AS sebagai “agresi besar” dan “pelanggaran serius atas kedaulatan”. Teheran mengancam akan melakukan serangan balasan yang “tak terbayangkan” dengan target utama adalah pangkalan militer AS di seluruh Timur Tengah, termasuk pangkalan udara Al Udeid di Qatar.
- Kontra-Klaim Kerusakan: Awalnya, Iran membantah klaim penghancuran total oleh AS, mengatakan penduduk setempat tidak merasakan ledakan besar. Namun, beberapa hari kemudian, Menteri Luar Negeri Iran mengakui bahwa fasilitas nuklir Fordow mengalami “kerusakan serius dan berat” akibat serangan tersebut.
Dampak dan Kekhawatiran Global
Ketegangan yang melibatkan secara langsung dua kekuatan besar ini dikhawatirkan memicu krisis global:
- PBB dan Dunia Internasional: Serangan AS menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menilai aksi tersebut berpotensi memperluas konflik di kawasan. Komunitas internasional mendesak kedua pihak untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan.
- Evakuasi WNI: Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengintensifkan upaya evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) di kawasan tersebut sebagai antisipasi meluasnya konflik.
Situasi ini menandai eskalasi terburuk dalam hubungan AS-Iran dan memperbesar risiko perang regional yang melibatkan sekutu AS di Timur Tengah.