JAKARTA, 27 Oktober 2025 – Sebuah putusan pengadilan terbaru yang dikeluarkan oleh [Nama Pengadilan yang Relevan, misalnya: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat] menuai pujian dari kalangan pegiat hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Dalam putusannya, majelis hakim secara tegas menekankan bahwa Negara (melalui lembaga publiknya) dan Korporasi besar harus belajar menahan diri (self-restraint) dan tidak menggunakan instrumen hukum pencemaran nama baik untuk merespons kritik dari masyarakat.
Pakar Hukum Tata Negara, Dr. [Nama Pakar Disamarkan], yang menyoroti putusan tersebut, mengatakan bahwa putusan ini merupakan penegasan bahwa kritik adalah bagian integral dari negara demokrasi dan merupakan upaya pengawasan publik.
“Putusan ini sangat progresif. Hakim Konstitusi (atau Hakim Pengadilan) secara implisit mengingatkan bahwa negara, yang memiliki kekuasaan dan dana tak terbatas, serta korporasi besar yang memiliki power ekonomi, tidak boleh menggunakan pasal pencemaran nama baik, baik pidana maupun perdata, sebagai senjata untuk membungkam kritik,” ujar Dr. [Nama Pakar Disamarkan], Senin (27/10/2025).
Kritik vs. Pencemaran Nama Baik
Dr. [Nama Pakar Disamarkan] menjelaskan, putusan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa pejabat publik dan korporasi harus menerima toleransi kritik yang jauh lebih besar dibandingkan individu biasa. Kritik, meskipun keras atau mengandung ketidaksetujuan, harus dilihat sebagai upaya akuntabilitas.
Poin Penting dari Putusan:
- Kepentingan Umum Diutamakan: Selama kritik dilakukan dalam kerangka kepentingan umum, menyangkut pelayanan publik, atau kinerja perusahaan yang berdampak luas, kritik tersebut harus dilindungi.
- Self-Restraint: Negara dan korporasi didorong untuk merespons kritik dengan klarifikasi dan perbaikan, bukan dengan tindakan hukum pidana atau gugatan perdata yang memakan biaya dan waktu.
- Ancaman Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP): Penggunaan gugatan pencemaran nama baik oleh pihak yang kuat sering dikategorikan sebagai SLAPP, yang bertujuan melemahkan dan membuat jera partisipasi publik.
Putusan ini diharapkan menjadi yurisprudensi penting bagi hakim di seluruh Indonesia, terutama dalam menyaring dan memutuskan perkara-perkara pencemaran nama baik yang melibatkan aktivis, jurnalis, atau masyarakat yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau korporasi.




























