Jakarta, 3 November 2025 – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini menyatakan bahwa pengoperasian Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh bukan semata-mata mencari keuntungan (profit oriented), melainkan sebagai upaya untuk mendorong mobilitas masyarakat dan menciptakan budaya transportasi publik yang modern. Namun, pernyataan ini menuai sorotan tajam dari pengamat transportasi, terutama terkait kondisi finansial PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI sebagai lead konsorsium Indonesia.
Pernyataan Presiden: Whoosh Bukan Murni Bisnis
Presiden Jokowi menegaskan bahwa proyek infrastruktur strategis seperti Whoosh memiliki dimensi yang lebih luas dari sekadar perhitungan bisnis sempit.
Tujuan Non-Profit Whoosh (Menurut Presiden):
- Penciptaan Budaya Baru: Mendorong masyarakat beralih dari transportasi pribadi ke transportasi massal yang efisien dan cepat.
 - Akselerasi Mobilitas: Mendukung percepatan pergerakan orang dan barang antara Jakarta dan Bandung, dua pusat ekonomi penting.
 - Infrastruktur Masa Depan: Sebagai proyek percontohan teknologi transportasi modern di Indonesia.
 
Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan publik mengenai potensi kerugian yang mungkin ditanggung oleh proyek triliunan rupiah ini, terutama setelah adanya penundaan pembayaran utang kepada China Development Bank (CDB).
Sorotan Pengamat: Beban Finansial KAI
Menanggapi pernyataan Presiden, sejumlah pengamat transportasi menyoroti bahwa meskipun proyek ini bersifat non-profit, realitas finansial perusahaan negara yang menanggung beban harus diperhitungkan secara serius. Sorotan utama diarahkan pada kemampuan KAI dalam mengelola beban utang dan operasional.
Kerugian yang Dibebankan ke KAI:
Pengamat menekankan bahwa PT KAI, sebagai perusahaan yang ditugaskan negara untuk memimpin proyek Whoosh, terbebani oleh potensi kerugian yang cukup besar.
- Beban Kerugian Rp2,2 T: Berdasarkan estimasi awal dan perhitungan ulang proyek, KAI diperkirakan harus menanggung potensi kerugian (atau kekurangan kas) operasional yang signifikan, di mana beberapa sumber menyebut angka mencapai Rp2,2 triliun (termasuk biaya bunga utang).
 - Kapasitas Finansial: Pertanyaan muncul mengenai kesanggupan KAI, yang juga mengelola operasional kereta reguler di seluruh Jawa dan Sumatera, untuk menyerap kerugian sebesar itu tanpa mengganggu layanan utamanya.
 - Risiko Bailout APBN: Pengamat khawatir bahwa jika kerugian terus membengkak, pada akhirnya bailout akan kembali menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bertentangan dengan janji awal proyek ini.
 
“Mengatakan Whoosh bukan mencari laba adalah pernyataan yang politis, namun secara akuntansi, proyek ini harus tetap sehat. Jika KAI terus menanggung kerugian triliunan rupiah, siapa yang akan membayar pada akhirnya? Jangan sampai beban ini kembali ke APBN.”
— Analisis Pengamat Transportasi
Ditekankan bahwa fokus saat ini harus beralih dari sekadar jumlah penumpang harian menjadi strategi efisiensi biaya, pengelolaan utang, dan penentuan tarif yang berkelanjutan.
			


























                                
                                
                                


