Jakarta, 7 November 2025 – Asas Kebebasan Berkontrak merupakan asas yang memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk membuat dan menentukan isi perjanjian sesuai dengan kehendak bebas mereka. Asas ini bersumber secara implisit dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang berbunyi:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
I. Peran Sentral Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam konteks bisnis, asas ini memiliki empat perwujudan utama yang krusial:
| Ruang Lingkup Kebebasan | Deskripsi |
| Kebebasan Menutup Kontrak | Bebas untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak. |
| Kebebasan Memilih Pihak | Bebas memilih dengan siapa kontrak akan dibuat (prinsip party autonomy). |
| Kebebasan Menentukan Bentuk | Bebas menentukan bentuk perjanjian (lisan, tertulis, akta di bawah tangan, atau akta notaris). |
| Kebebasan Menentukan Isi | Bebas untuk menentukan, menambahkan, atau menyimpangi ketentuan hukum pelengkap (anvullend recht) yang ada dalam Buku III KUHPerdata. |
Intinya, asas ini memastikan bahwa para pelaku usaha memiliki otonomi penuh dalam mengatur urusan dan risiko mereka sendiri melalui kontrak, selama kontrak tersebut memenuhi syarat sah perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata).
II. Batas-Batas Asas Kebebasan Berkontrak
Meskipun kebebasan ini sangat luas, hukum Indonesia telah menetapkan batasan yang ketat. Asas kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang liar, melainkan dibatasi oleh tiga syarat material yang wajib dipenuhi (syarat objektif keabsahan kontrak). Jika batasan ini dilanggar, kontrak dapat batal demi hukum.
1. Tidak Boleh Bertentangan dengan Undang-Undang
Perjanjian harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku (lex specialis).
- Contoh: Perjanjian kerja tidak boleh mengatur upah di bawah batas Upah Minimum Provinsi (UMP) atau menghapus hak cuti tahunan, karena hal tersebut diatur secara memaksa (dwingend recht) dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
- Contoh: Perjanjian jual beli narkoba atau organ tubuh manusia dilarang oleh UU dan otomatis batal demi hukum.
2. Tidak Boleh Bertentangan dengan Kesusilaan
Isi kontrak tidak boleh melanggar norma moral atau etika yang berlaku di masyarakat. Kontrak yang mengandung unsur eksploitasi seksual atau merendahkan martabat manusia akan dianggap bertentangan dengan kesusilaan.
3. Tidak Boleh Bertentangan dengan Ketertiban Umum
Kontrak tidak boleh mengganggu stabilitas atau ketertiban sosial, ekonomi, dan politik negara. Misalnya, kontrak monopoli yang sangat merugikan publik dan melanggar UU Persaingan Usaha dapat dikategorikan melanggar ketertiban umum.
III. Dinamika dan Pergeseran Paradigma Hukum
Dalam praktiknya, asas kebebasan berkontrak mengalami pergeseran paradigma, terutama untuk melindungi pihak yang lebih lemah:
| Area Dinamika | Penjelasan dan Implikasi |
| Kontrak Baku (Standard Contract) | Dalam perjanjian yang bersifat baku (misalnya perjanjian kredit, asuransi, atau e-commerce), posisi tawar satu pihak (konsumen) sangat lemah. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) membatasi kebebasan pelaku usaha dengan melarang klausul baku yang bersifat pengalihan tanggung jawab sepihak atau memberatkan konsumen (Pasal 18 UUPK). |
| Itikad Baik (Goede Trouw) | Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mewajibkan semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya, kebebasan berkontrak harus diimbangi dengan kewajiban moral untuk bertindak secara jujur dan patut, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga mempertimbangkan kepentingan pihak lain. |
| Asas Keseimbangan | Yurisprudensi modern cenderung menekankan asas keseimbangan dalam kontrak. Hakim dapat mengesampingkan klausul yang dinilai terlalu memberatkan salah satu pihak, terutama jika klausul tersebut memanfaatkan ketidakmampuan atau ketidaktahuan pihak yang lebih lemah. |
Kesimpulan:
Asas Kebebasan Berkontrak adalah fondasi yang memacu dinamika ekonomi di Indonesia. Namun, kebebasan ini selalu berada di bawah kontrol hukum yang bertujuan menjaga kepastian hukum, ketertiban umum, dan keadilan bagi semua pihak, terutama pihak yang secara ekonomi atau pengetahuan berada di posisi yang kurang diuntungkan.

































