Jakarta, 7 November 2025 – Isu rendahnya kepastian hukum dalam pelaksanaan kontrak bisnis umumnya merujuk pada ketidakpastian mengenai penegakan hak dan kewajiban yang telah disepakati, meskipun kontrak tersebut telah dibuat secara sah (pacta sunt servanda).
Praktisi hukum sering menyoroti beberapa aspek utama yang menjadi penyebab rendahnya kepastian ini:
I. Kendala dalam Proses Penegakan (Enforcing Contracts)
Ini adalah masalah utama yang secara langsung memengaruhi kepercayaan investor, baik domestik maupun asing.
- Proses Litigasi yang Panjang dan Mahal:
- Kecepatan: Proses peradilan di Indonesia, mulai dari tingkat pertama hingga kasasi (Mahkamah Agung), sering kali memakan waktu bertahun-tahun. Keterlambatan ini membuat sengketa kontrak tidak terselesaikan tepat waktu, yang sangat merugikan bisnis yang mengutamakan kecepatan dan likuiditas.
- Efisiensi: Indikator “Enforcing Contracts” dalam indeks kemudahan berusaha global secara konsisten menunjukkan bahwa penegakan kontrak di Indonesia masih tergolong lambat dan tidak efisien.
- Inkonsistensi Putusan:
- Terkadang, putusan pengadilan dalam kasus-kasus serupa dapat berbeda, yang menimbulkan ketidakpastian yurisprudensi. Hal ini mempersulit praktisi hukum untuk memberikan nasihat yang akurat kepada klien mengenai hasil yang diharapkan dari suatu sengketa.
II. Ketidakpastian Ranah Hukum (Perdata vs. Pidana)
Fenomena yang sering disorot adalah adanya kriminalisasi kontrak bisnis.
- Tarik-Menarik Ranah Hukum: Sengketa yang murni bersifat wanprestasi (pelanggaran kontrak perdata) seringkali ditarik oleh Aparat Penegak Hukum (APH) ke ranah pidana (seperti penipuan atau penggelapan).
- Dampaknya:
- Hal ini menggerus kepastian hukum perdata, karena pelaku usaha menjadi ragu untuk menjalankan kontrak berisiko jika setiap kegagalan dapat diancam pidana.
- Prinsip hukum perdata, bahwa risiko bisnis harus diselesaikan melalui ganti rugi perdata, menjadi terdistorsi.
III. Permasalahan Keabsahan dan Interpretasi Kontrak
Bahkan sebelum masuk ke tahap penegakan, kepastian hukum dapat terancam oleh masalah teknis kontrak itu sendiri:
- Masalah Bahasa Kontrak:
- Kasus-kasus pembatalan kontrak, terutama yang melibatkan pihak asing, karena tidak menggunakan Bahasa Indonesia (sebagaimana diamanatkan UU No. 24 Tahun 2009) telah menimbulkan kekhawatiran besar. Meskipun tujuannya baik, implementasi yang kaku dapat mengancam validitas kontrak yang sudah berjalan.
- Ambiguitas Klausul Baku:
- Penggunaan kontrak baku yang sepihak (terutama di sektor konsumen dan jasa keuangan) yang mengandung klausul eksklusif atau pengalihan tanggung jawab seringkali menimbulkan sengketa. Meskipun ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penegakan pelarangan klausul baku yang merugikan masih menjadi tantangan.
IV. Solusi Alternatif yang Belum Optimal
Praktisi hukum menyarankan penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR) untuk menghindari pengadilan.
- Arbitrase (BANI, dll.): Meskipun lebih cepat dan putusannya bersifat final dan mengikat, keputusan arbitrase tetap membutuhkan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Jika eksekusi ini terhambat, kepastian hukum tetap rendah.
- Mediasi/Negosiasi: Mekanisme ini bergantung sepenuhnya pada itikad baik para pihak, yang seringkali hilang saat terjadi sengketa besar.
Rekomendasi untuk Peningkatan Kepastian Hukum
Untuk mengatasi rendahnya kepastian hukum dalam pelaksanaan kontrak bisnis, fokus utama harus diarahkan pada:
- Reformasi Peradilan: Mempercepat proses litigasi sengketa bisnis di pengadilan dengan membatasi jumlah pemeriksaan atau menerapkan sistem peradilan komersial yang lebih efisien.
- Kejelasan Yurisdiksi: Adanya penegasan yang lebih kuat dari Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung bahwa sengketa wanprestasi murni harus diselesaikan di ranah perdata, bukan pidana.
- Penguatan ADR: Mempercepat dan menyederhanakan proses eksekusi putusan arbitrase, sehingga mekanisme alternatif benar-benar menjadi solusi yang efektif.
































