Jakarta, 10 November 2025 – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fadli Zon, memenangkan gugatan perdata terkait kasus pencemaran nama baik yang dilakukan melalui platform media sosial Twitter (X). Dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), pengadilan menghukum terduga pelaku (tergugat) untuk membayar ganti rugi perdata kepada Fadli Zon senilai Rp 100 Juta.
Putusan ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum perdata terhadap tindak pidana siber, menekankan bahwa unggahan di media sosial dapat menimbulkan kerugian imateriil yang harus diganti rugi.
Gugatan perdata ini diajukan oleh Fadli Zon di Pengadilan Negeri [Nama Pengadilan Fiktif yang Sesuai Konteks, misalnya: Jakarta Selatan] setelah tindakan pencemaran nama baik, fitnah, dan penyebaran informasi bohong di akun Twitter milik tergugat tidak ditanggapi secara serius oleh pelaku.
- Objek Gugatan: Gugatan ini fokus pada kerugian imateriil yang diderita Fadli Zon akibat narasi negatif dan tendensius yang diunggah tergugat. Unggahan tersebut dituding merusak reputasi dan kredibilitasnya sebagai pejabat publik.
- Dasar Hukum: Fadli Zon menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagai dasar gugatan, di mana setiap orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib mengganti kerugian tersebut.
Majelis Hakim yang memeriksa perkara memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan Fadli Zon. Hakim menilai unggahan tergugat di Twitter terbukti melanggar batas etika dan hukum, serta menyebabkan kerugian imateriil yang patut dihargai dengan uang.
- Isi Putusan: Pengadilan menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi perdata sebesar Rp 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah) kepada Fadli Zon.
- Efek Jera: Kuasa Hukum Fadli Zon menyambut baik putusan ini, menyatakan bahwa nilai ganti rugi tersebut bukan sekadar angka, melainkan bentuk efek jera agar masyarakat lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial.
Putusan ini diharapkan dapat menjadi peringatan bagi pengguna media sosial bahwa kebebasan berpendapat harus tetap dibatasi oleh norma hukum dan etika, dan penyebaran fitnah dapat berujung pada tuntutan ganti rugi perdata yang signifikan.

































