Jakarta, 10 November 2025 – Klausul Force Majeure (FM) merupakan salah satu klausul penyelamat dalam kontrak bisnis, yang bertujuan melindungi para pihak dari konsekuensi wanprestasi akibat kejadian di luar kendali mereka. Pasca guncangan hebat Pandemi COVID-19 dan gejolak ekonomi-politik global (seperti krisis rantai pasok dan inflasi energi), formulasi klausul FM harus bergeser dari sekadar boilerplate (standar/klasik) menjadi adaptif dan terperinci.
1. Dasar Hukum dan Kelemahan Aturan Klasik
Secara hukum perikatan di Indonesia, FM diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
- Prinsip Hukum: Debitur dibebaskan dari kewajiban mengganti kerugian jika terbukti wanprestasi terjadi karena suatu kejadian yang tidak terduga, tidak dapat dicegah, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
- Kelemahan Klasik: KUH Perdata tidak merinci apa saja yang termasuk FM. Klausul kontrak lama umumnya hanya mencantumkan daftar baku seperti “perang, bencana alam, kebakaran, dan epidemi.” Pandemi membuktikan daftar ini tidak memadai karena banyak pihak bersengketa apakah lockdown atau krisis rantai pasok termasuk FM.
2. Pentingnya Spesifisitas Pasca-Pandemi
Klausul FM yang jelas sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan mengurangi arbitrase/litigasi yang mahal. Klausul harus merespons risiko-risiko yang kini menjadi endemik dalam bisnis global:
| Risiko Bisnis Baru | Kebutuhan Dalam Klausul FM |
| Gangguan Rantai Pasok | Mencantumkan secara eksplisit “kegagalan pemasok tunggal” atau “gangguan pelabuhan/logistik global” sebagai FM. |
| Perubahan Regulasi Mendadak | Mencakup “perubahan kebijakan ekspor/impor”, “sanksi dagang/ekonomi baru”, atau “larangan bepergian/kegiatan usaha mendadak oleh pemerintah”. |
| Krisis Kesehatan Global | Menggunakan istilah yang lebih luas dari ‘epidemi’, yaitu “Pandemi yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan global (WHO)” beserta kebijakan pembatasan sosial terkait. |
| Krisis Geopolitik | Mencakup “perang/konflik di negara pemasok utama” atau “embargo internasional” yang menghambat pengiriman. |
3. Merumuskan Konsekuensi yang Adaptif (Beyond Termination)
Klausul yang baik tidak hanya menetapkan kapan FM terjadi, tetapi juga apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kontrak harus menyediakan solusi bertingkat:
| Langkah Adaptasi | Penjelasan |
| Kewajiban Mitigasi | Pihak yang terdampak wajib menunjukkan upaya sungguh-sungguh (reasonable efforts) untuk meminimalkan dampak FM, misalnya mencari pemasok alternatif atau menggunakan transportasi yang berbeda. |
| Penangguhan Jadwal | Menetapkan durasi penangguhan yang jelas (misalnya maksimal 90 hari) dan prosedur formal untuk memperpanjang penangguhan tersebut. |
| Klausul Hardship (Kesulitan) | Memicu renegosiasi jika FM membuat pelaksanaan kontrak menjadi sangat merugikan (onerous)—meskipun belum mustahil. Contoh: Biaya operasional naik 200% akibat inflasi energi. |
| Terminasi Permanen | Kontrak baru bisa diakhiri jika FM berlangsung melebihi batas waktu tertentu (misalnya, lebih dari 120 hari), memberikan waktu yang cukup bagi kedua pihak untuk beradaptasi. |
4. Jaminan Prosedur dan Bukti
Klausul FM yang kuat harus menyertakan prosedur notifikasi dan pembuktian yang ketat. Pihak yang mengklaim FM wajib:
- Memberikan pemberitahuan tertulis dalam jangka waktu singkat (misal, 5 hari kerja) sejak kejadian.
- Menyertakan bukti-bukti objektif dari otoritas resmi (misalnya, surat edaran pemerintah, pengumuman WHO, atau laporan bank terkait fluktuasi mata uang) yang membenarkan klaim tersebut.
Dengan demikian, klausul Force Majeure bertransformasi dari sekadar pembelaan hukum menjadi mekanisme manajemen risiko kolaboratif yang memastikan kelangsungan hubungan bisnis, bukan pemutus hubungan, di tengah ketidakpastian global.
































