Jakarta, 10 November 2025 – Pemerintah terus berupaya memperkuat mekanisme Whistleblowing System (WBS) di kementerian/lembaga (K/L) guna mendorong Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masyarakat berani melaporkan tindak korupsi tanpa perlu khawatir akan sanksi balasan. Prinsip kerahasiaan identitas dan perlindungan dari tindakan diskriminatif ditekankan sebagai fokus utama dalam penanganan pelaporan.
Perkembangan ini didukung oleh berbagai peraturan turunan, termasuk dari BKN dan peraturan internal di banyak K/L, yang semakin memperjelas prosedur dan jaminan perlindungan bagi pelapor.
Mekanisme Perlindungan yang Diperkuat
Meskipun dasar hukum perlindungan whistleblower telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK), implementasinya di lingkungan birokrasi ASN diperkuat dengan sistem internal:
- WBS Internal Instansi: Setiap instansi, termasuk BKN, Kementerian PANRB, dan kementerian teknis lainnya, telah memiliki WBS terpadu (seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri teknis terbaru, contohnya Permen PKP Nomor 8 Tahun 2025). Sistem ini memungkinkan ASN untuk melaporkan dugaan pelanggaran secara anonim atau menggunakan nama samaran.
- Fokus Pelanggaran: Laporan yang dapat ditindaklanjuti meliputi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), gratifikasi, pelanggaran kode etik dan disiplin PNS, hingga penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
- Jaminan Kerahasiaan: Unit pengelola WBS, umumnya di bawah Inspektorat Jenderal, berkewajiban merahasiakan identitas pelapor dan data informasi yang patut diduga dapat membuka rahasia pelapor. Jaminan ini penting untuk mengatasi ketakutan ASN akan pemecatan, mutasi non-objektif, atau intimidasi.
Tantangan Implementasi dan Sanksi Balasan
Namun, sejumlah kajian dan penelitian menunjukkan bahwa implementasi perlindungan whistleblower di tingkat ASN masih menghadapi tantangan serius.
- Rendahnya Kepercayaan: Banyak ASN masih enggan melapor karena trauma atau pengalaman buruk rekan sejawat yang mengalami tindakan balasan (reprisal), seperti dimutasi ke tempat terpencil atau dipersulit kenaikan pangkatnya, meskipun secara formal aturan perlindungan telah ada.
- Penguatan Lembaga Pengawas: Untuk mengatasi hal ini, diperlukan penguatan peran lembaga pengawas seperti LPSK dan Ombudsman, serta pemberian jaminan non-diskriminatif yang lebih tegas dan sanksi keras bagi pejabat yang terbukti melakukan tindakan balasan terhadap pelapor.
Tujuan akhir dari penguatan aturan ini adalah menciptakan budaya birokrasi yang bersih dan transparan, di mana melaporkan kejahatan dianggap sebagai tindakan moral dan kewajiban profesional, bukan risiko karir.
































