JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi mendakwa mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dakwaan ini merupakan pengembangan dari kasus suap dan gratifikasi yang sebelumnya telah menjeratnya. Total nilai aset yang diduga dicuci oleh Nurhadi mencapai angka fantastis: Rp308 miliar.
Dakwaan TPPU ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (24/11).
“Terdakwa Nurhadi didakwa telah melakukan perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi,” tegas JPU KPK saat membacakan dakwaan.
Modus dan Aset yang Dicucikan
Dakwaan JPU merinci bahwa tindakan pencucian uang ini dilakukan Nurhadi bersama-sama dengan menantunya, Rizky Herbiyono, dari kurun waktu 2014 hingga 2019. Modus operandi yang digunakan antara lain:
-
Pembelian Aset: Menggunakan uang hasil korupsi untuk membeli properti mewah, saham, dan kendaraan atas nama orang lain atau perusahaan fiktif.
-
Investasi: Menempatkan dana pada berbagai instrumen investasi untuk menyamarkan asal-usul uang.
KPK berharap melalui dakwaan TPPU ini, seluruh aset hasil kejahatan yang mencapai Rp308 miliar dapat disita dan dikembalikan kepada negara, sehingga memberikan efek jera maksimal.
Atas perbuatannya, Nurhadi didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

































