NEW YORK – Doktrin Penggunaan Wajar (Fair Use) dalam hukum hak cipta diyakini perlu mengadopsi prinsip-prinsip dari hukum antitrust (persaingan), menyusul keputusan penting Mahkamah Agung AS dalam kasus Andy Warhol Foundation for the Visual Arts, Inc. v. Goldsmith (2023).
Menurut Christopher Jon Sprigman, Murray and Kathleen Bring Professor of Law di NYU School of Law, putusan Warhol secara tak terduga telah mendorong analisis persaingan menjadi elemen sentral dalam menentukan fair use.
1. Pergeseran Fokus Pasca-Keputusan Warhol
Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Warhol, yang memutuskan bahwa penggunaan karya fotografer oleh Warhol tidak memenuhi kriteria fair use, telah menciptakan kerumitan baru—sekaligus peluang—dalam hukum hak cipta.
Sprigman, dalam artikelnya berjudul “Copyright, Meet Antitrust” yang diterbitkan di Yale Law Journal Forum, berpendapat bahwa pengadilan kini harus lebih serius mempertimbangkan aspek persaingan saat mengevaluasi dua faktor kunci fair use:
-
Faktor Pertama (Tujuan Penggunaan): Mahkamah Agung menyarankan bahwa jika karya turunan memiliki tujuan yang sama dengan karya asli, maka itu cenderung bersaing dan tidak mendukung fair use.
-
Faktor Keempat (Dampak Pasar): Faktor tradisional ini secara eksplisit menanyakan efek penggunaan terhadap potensi pasar karya berhak cipta.
Menurut Sprigman, kedua faktor ini telah bergeser untuk menempatkan analisis persaingan sebagai inti dari pertimbangan transformatif.
2. Metodologi Antitrust sebagai Solusi
Sebagai seorang pengacara yang juga bergelut di bidang antitrust, Sprigman mengusulkan agar komunitas hukum hak cipta menggunakan metodologi persaingan yang telah mapan dalam hukum antitrust.
“Hukum antitrust telah mengembangkan metodologi yang benar-benar baik untuk menilai apakah suatu produk bersaing,” jelas Sprigman.
Pendekatan antitrust menawarkan cara yang lebih bernuansa, yakni dengan berfokus pada konsep substitutabilitas. Hal ini berarti, analisis harus menentukan apakah konsumen benar-benar menganggap karya turunan dan karya asli sebagai produk pengganti di pasar. Pendekatan ini dinilai jauh lebih disiplin daripada analisis persaingan yang biasa dilakukan pengacara hak cipta.
3. Dampak Booming AI
Sprigman menyoroti bagaimana lonjakan AI telah menghidupkan kembali isu-isu fair use ini. Dalam kasus pelatihan model AI, persaingan yang terjadi bersifat “grosir”—yaitu persaingan antara model AI dan semua karya manusia secara umum.
Ia mempertanyakan apakah persaingan umum semacam ini harus dihitung sebagai persaingan yang sah di bawah Undang-Undang Hak Cipta. Sprigman berpandangan bahwa model fair use yang ada mengharuskan adanya persaingan spesifik antara penggunaan tergugat dengan karya penggugat secara individual. Untuk model bahasa besar (Large Language Model / LLM) serbaguna, persaingan spesifik ini seringkali tidak ada.































