New York – Dalam pertemuan paralel dengan sesi Sidang Umum PBB, Climate Week NYC tahun ini menjadi momen bagi pemimpin dunia dan pengamat iklim untuk menekan negara-negara agar target iklim mereka bukan sekadar retorika, melainkan diwujudkan lewat kebijakan nyata. Dipimpin oleh Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, panggilan atas aksi segera muncul sebagai inti pertemuan.
Stiell menegaskan bahwa “era baru aksi iklim harus membawa proses mendekat ke ekonomi nyata” artinya, janji-janji pengurangan emisi harus diterjemahkan ke kebijakan fiskal, regulasi, dan investasi yang konkret. Ia juga menyebut bahwa meski investasi global dalam energi bersih telah menembus angka USD 2 triliun, manfaatnya belum dirasakan merata terutama di negara berkembang yang paling rentan dalam menghadapi dampak iklim ekstrem.
Salah satu tantangan terbesar dalam pertemuan ini adalah memastikan bahwa negara-negara utama, termasuk China, melampaui janji lama dan memperbarui target nasional (NDC) mereka agar selaras dengan batas kenaikan suhu 1,5 °C. PBB telah mendesak agar negara-negara menyerahkan NDC baru dalam bulan ini agar dapat dinilai sebelum konferensi iklim dunia COP30 di Brasil, November nanti.
Sementara itu, blok Uni Eropa tengah bergulat internal untuk menyepakati target iklim 2040 rencana yang diusulkan untuk memangkas emisi sampai 90% dibanding tahun 1990. Namun, pemerintah dari beberapa negara anggota seperti Prancis dan Jerman dikabarkan menahan persetujuan agar bisa dinegosiasikan lebih jauh di tingkat kepala negara.
Dalam hal kebijakan langsung, mantan Presiden AS Donald Trump menggunakan pidatonya di PBB untuk menolak perubahan iklim, menyebutnya sebagai “penipuan terbesar” dalam sejarah manusia. Pernyataan ini memicu reaksi keras dari komunitas ilmiah global.
Para pengamat menilai bahwa momentum yang tercipta saat ini adalah ujian nyata bagi komitmen negara-negara besar. Bila banyak negara hanya menjanjikan tanpa eksekusi nyata, kepercayaan publik terhadap lembaga internasional akan terkikis. Tak hanya itu, bagi negara berkembang yang rentan terhadap banjir, kekeringan, dan badai ekstrem, kegagalan global untuk beraksi bisa membawa konsekuensi kemanusiaan yang serius.