JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan). Agenda sidang kali ini berfokus pada perbaikan permohonan, di mana Pemohon menambahkan pasal terkait perincian objek Hak Tanggungan yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 177/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Hans Karyose, seorang wiraswasta, yang merasa dirugikan akibat eksekusi objek Hak Tanggungan yang tidak merinci dengan jelas aset-aset yang dijaminkan.
Pasal Kunci yang Diuji
Pemohon dalam sidang perbaikan permohonan yang digelar pada Kamis (23/10/2025) menegaskan pengujiannya ditujukan pada Penjelasan Pasal 11 ayat (1) huruf e UU Hak Tanggungan.
Pasal tersebut berbunyi:
- “Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi rincian mengenai tanah, bangunan, benda-benda yang ada di atasnya, dan benda hasil karya lainnya…”
Pemohon berpendapat bahwa rumusan dalam penjelasan pasal tersebut, yang seharusnya mewajibkan rincian yang jelas mengenai bangunan, mesin, dan aset lain, seringkali diabaikan oleh Notaris/PPAT dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kerugian Konstitusional Pemohon
Dalam dalil permohonannya, Pemohon menguraikan bahwa akibat ketidakjelasan perincian ini, aset tanah dan bangunan miliknya yang dijaminkan pada tahun 2007 dieksekusi secara keseluruhan pada tahun 2012. Padahal, menurutnya, sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang terbit tidak mencantumkan rincian bangunan, mesin, dan aset lain di atas tanah, yang sebagian masih terikat fidusia.
Pemohon menilai Penjelasan Pasal 11 ayat (1) huruf e UU Hak Tanggungan menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka celah penafsiran yang keliru, sehingga berpotensi melanggar hak konstitusionalnya untuk mendapatkan perlindungan terhadap harta benda, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Pemohon berharap MK dapat memberikan tafsiran konstitusional bersyarat terhadap pasal tersebut agar memberikan kepastian hukum yang adil bagi debitur dan menuntut prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang lebih ketat dari pihak kreditur.
Naskah perbaikan permohonan telah diserahkan dan Mahkamah akan melanjutkan proses persidangan ke tahap berikutnya.