EL FASHER, SUDAN, 30 Oktober 2025 – Situasi kemanusiaan di kota El Fasher, Darfur Utara, Sudan, mencapai titik kritis setelah Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces – RSF) mengklaim telah menguasai penuh kota tersebut. Berbagai laporan dari PBB, kelompok hak asasi manusia, dan laboratorium riset kemanusiaan menuding RSF melakukan pembunuhan massal dan berbagai kekejaman yang melanggar Hukum Humaniter Internasional (HHI).
Kekejaman dan Indikasi Pelanggaran HHI
El Fasher adalah ibu kota regional Darfur terakhir yang dikuasai oleh militer Sudan (SAF) sebelum jatuh ke tangan RSF. Kejatuhan kota ini dikhawatirkan memicu kekerasan etnis yang meluas, mengingat sejarah konflik di Darfur.
- Tuduhan Utama: RSF dituduh melakukan eksekusi sumir (summary executions) terhadap warga sipil yang mencoba melarikan diri, penembakan massal, perampokan, dan kekerasan seksual yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan.
- Target Etnis: Terdapat indikasi kuat bahwa kekejaman ini dimotivasi oleh faktor etnis, khususnya menargetkan komunitas non-Arab seperti Fur, Zaghawa, dan Berti, mengulang pola serangan di Geneina pada tahun 2023.
- Bukti Satelit: Laporan dari Yale Humanitarian Research Lab yang menganalisis citra satelit mengklaim telah menemukan bukti yang konsisten dengan pembunuhan massal dan operasi pembersihan dari rumah ke rumah oleh pasukan RSF di El Fasher.
- Pelanggaran HHI: Tindakan terstruktur yang menargetkan warga sipil, pemerkosaan sebagai senjata perang, dan pembunuhan terhadap mereka yang tidak lagi berpartisipasi dalam pertempuran (termasuk pasien dan staf medis) merupakan pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Seruan Internasional untuk Akuntabilitas
Badan-badan PBB dan organisasi seperti Amnesty International telah menyerukan agar RSF segera menghentikan serangan terhadap infrastruktur sipil dan menjamin perlindungan warga.
Sekretaris Jenderal PBB menyebut perkembangan ini sebagai “eskalasi yang mengerikan” dan mendesak komunitas internasional untuk segera bertindak dan meminta pertanggungjawaban individu yang terlibat dalam kekejaman ini. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah memiliki yurisdiksi atas kejahatan perang di Darfur sejak 2005.





























