JAKARTA, 4 November 2025 – Sudan kembali menjadi sorotan global setelah perang saudara antara militer Sudan (SAF) dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) terus memakan korban jiwa dan memicu krisis kemanusiaan yang disebut PBB sebagai yang terburuk di dunia.
Konflik yang meletus pada 15 April 2023 ini berakar dari perselisihan antara dua jenderal yang dulunya sekutu, namun kini memperebutkan kendali penuh atas negara.
Akar Konflik: Dua Jenderal yang Berbalik Arah
Perang di Sudan berawal dari perebutan kekuasaan antara Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan (pemimpin SAF/militer Sudan) dan Letnan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti (pemimpin RSF).
Keduanya sempat bersekutu dalam kudeta tahun 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil. Namun, hubungan mereka retak karena isu-isu kunci transisi, yaitu:
- Integrasi RSF: Al-Burhan ingin agar RSF segera diintegrasikan ke dalam angkatan darat nasional di bawah komando militer, suatu proses yang ditolak oleh Hemedti.
- Perebutan Kekuasaan dan Ekonomi: Hemedti menolak integrasi karena khawatir kehilangan kendali atas kekuasaan politik dan jaringan ekonomi besar, termasuk pertambangan emas, yang dimiliki oleh RSF.
Ketegangan ini berubah menjadi perang terbuka, yang menandai berakhirnya harapan transisi demokrasi di Sudan.
RSF dan Tuduhan Genosida di Darfur
RSF memiliki sejarah kelam. Pasukan ini berasal dari milisi Janjaweed, yang terkenal kejam dan dituduh melakukan genosida terhadap kelompok etnis non-Arab di Darfur pada awal tahun 2000-an.
Kini, RSF di bawah komando Hemedti dituduh mengulangi kekerasan etnis, terutama terhadap komunitas Massalit, serta menyerbu rumah sakit dan kamp pengungsian. Pada Januari 2025, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat secara resmi menyatakan bahwa RSF dan sekutunya telah melakukan genosida di Sudan.
Situasi Terkini: El-Fasher Jatuh dan Korban Kemanusiaan
Salah satu perkembangan krusial terbaru adalah keberhasilan RSF merebut El-Fasher pada akhir Oktober 2025. Kota ini, yang menjadi tempat berlindung 1,2 juta penduduk, kini diwarnai laporan pembantaian massal, penyiksaan, dan eksekusi warga sipil.
Dampak kemanusiaan konflik ini sangat parah:
- Korban Jiwa: Hingga Oktober 2025, perang ini telah menewaskan lebih dari 150.000 orang.
- Pengungsian: Sebanyak 12 juta warga telah mengungsi dari rumah mereka.
- Kelaparan: Lebih dari 24 juta orang mengalami kelaparan akut.
Perang ini juga diperparah oleh campur tangan negara asing, di mana RSF dituduh menerima pasokan senjata dari Uni Emirat Arab (UEA), sementara militer Sudan (SAF) diduga disokong oleh Iran dan Turki, membuat upaya perdamaian terus gagal.
































