JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa penyelidikan dugaan korupsi pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) akan terus berjalan. Penegasan ini disampaikan untuk membantah spekulasi penghentian kasus yang muncul pasca-pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memastikan pemerintah akan menanggung utang dan seluruh tanggung jawab proyek tersebut.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menekankan bahwa proses hukum di lembaga antirasuah harus terus berjalan terlepas dari kebijakan politik atau ekonomi pemerintah terkait proyek tersebut.
“Penyelidikan, penyidikan, tidak ada larangan kan. Tidak ada satu larangan untuk melakukan penyelidikan,” ujar Tanak kepada media di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).
Penyelidikan demi Kepastian Hukum
Menurut Tanak, tujuan utama penyelidikan adalah untuk mencari kepastian hukum. Jika dalam prosesnya ditemukan indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi, maka kasus akan dinaikkan ke tahap penyidikan. Sebaliknya, jika tidak ada bukti pidana, maka akan ada kepastian hukum bahwa proyek tersebut bersih dari praktik rasuah.
“Alangkah bagusnya memang kalau ada penyelidikan, sehingga ada kepastian hukum. Kalau tidak ada (tindak pidana korupsi) ya selesai. Namun, kalau ada, kami bisa sampaikan kepada Presiden bahwa ini ada perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Ketika ada, tentunya Presiden juga akan menerima,” tegas Tanak.
KPK memastikan bahwa komitmen Presiden Prabowo untuk menanggung utang tahunan Whoosh tidak akan mengintervensi atau menghambat proses hukum yang sedang berjalan.
Fokus pada Dugaan Mark Up Biaya
Dugaan korupsi proyek Whoosh ini mulai diselidiki KPK sejak awal tahun 2025. Perhatian publik terhadap kasus ini sempat memuncak setelah mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyoroti adanya dugaan penggelembungan biaya (mark up).
Mahfud menyebut, biaya per kilometer proyek Whoosh mencapai $52 juta AS, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan estimasi biaya di Tiongkok yang hanya berkisar $17-$18 juta AS.
“Ini siapa yang menaikkan? Uangnya ke mana? Naik tiga kali lipat. Harus diteliti siapa yang dulu melakukan ini,” kritik Mahfud kala itu, yang kemudian ditanggapi KPK dengan ajakan agar Mahfud memberikan keterangan.
Saat ini, KPK terus meminta keterangan dari sejumlah pihak yang diduga mengetahui konstruksi perkara ini untuk membuat terang dugaan penyelewengan dalam pengadaan dan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.

































