Jakarta, 10 November 2025 – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus mempertimbangkan revisi lanjutan terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya yang berkaitan dengan Pasal Pencemaran Nama Baik (seperti Pasal 27A dan Pasal 28). Fokus utama revisi adalah memperjelas batasan delik agar UU ITE tidak lagi menjadi “pasal karet” yang berpotensi mengkriminalisasi kritik dan membungkam kebebasan berekspresi.
Perkembangan ini didorong oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang semakin memperketat penafsiran delik tersebut.
Keputusan MK terbaru (Putusan No. 105/PUU-XXII/2024) yang dibacakan pada April 2025 menjadi landasan kuat untuk merevisi implementasi UU ITE.
- Subjek Korban Dibatasi: MK secara tegas membatasi objek dari delik pencemaran nama baik. Putusan tersebut menegaskan bahwa Pasal 27A (yang mengatur pencemaran nama baik) hanya berlaku untuk delik yang ditujukan kepada orang perseorangan (individu).
- Instansi dan Korporasi Dilarang Melapor: MK melarang instansi pemerintah, korporasi, profesi, atau jabatan untuk menjadi pihak pelapor atau korban dalam kasus pencemaran nama baik melalui media elektronik. Ini berarti kritik yang ditujukan kepada kebijakan atau kinerja institusi pemerintah tidak bisa lagi dipidanakan menggunakan UU ITE.
Tujuan Pemerintah: “Revisi UU ITE yang telah kami lakukan dan penegasan dari MK bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kriminalisasi terhadap masyarakat yang menyampaikan kritik yang konstruktif terhadap kebijakan publik atau pejabat. Kebebasan berpendapat adalah hak, namun harus tetap bertanggung jawab,” ujar [Nama Pejabat Fiktif yang Sesuai Konteks, misalnya Menteri Komunikasi dan Informatika].
Meskipun MK telah membatasi subjek korban, tantangan implementasi masih ada karena ketentuan pidana dalam UU ITE 2024 (Perubahan Kedua) hanya berlaku hingga 1 Januari 2026, di mana setelah itu akan diberlakukan sepenuhnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru.
- Pencemaran dalam KUHP Baru: Pemerintah harus memastikan bahwa ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam KUHP baru (khususnya Pasal 310) tidak menimbulkan celah baru bagi kriminalisasi kritik di ruang digital.
- Literasi Penegak Hukum: Lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan, didorong untuk segera menyesuaikan pedoman interpretasi dan pelaksanaan di lapangan agar setiap laporan pencemaran nama baik diproses secara selektif dan proporsional, dengan memprioritaskan penyelesaian di luar jalur pidana (restorative justice) jika kasusnya bersifat ringan.
Upaya revisi lanjutan dan pengetatan interpretasi ini adalah langkah signifikan untuk menyeimbangkan antara perlindungan reputasi individu dan penjaminan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi di ruang digital.

































