JAKARTA – Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (2017-2024), Ira Puspadewi, telah divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). Ira Puspadewi dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut positif putusan ini, sekaligus menegaskan adanya rekayasa dan pengkondisian dalam proses akuisisi yang dilakukan ASDP.
“KPK menyampaikan apresiasi dan menyambut positif atas putusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa terdakwa IP terbukti bersalah,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Minggu (23/11/2025).
Fakta Rekayasa Akuisisi
Budi Prasetyo mengungkapkan bahwa fakta persidangan menunjukkan proses akuisisi PT JN dilakukan dengan tidak objektif. Kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini mencapai Rp 1,25 triliun.
-
Pengkondisian Aset: Terdapat rekayasa dan pengkondisian, baik pada tahap proses maupun hasil valuasi terhadap aset-aset yang diakuisisi, termasuk kapal-kapal milik PT JN.
-
Kapal Tua: Kapal-kapal yang diakuisisi sebagian besar berusia tua dan memiliki manfaat serta kualitas yang tidak optimal, memaksa ASDP mengeluarkan biaya perawatan yang sangat tinggi dan menanggung kewajiban utang PT JN.
-
Pelanggaran Business Judgment Rule: Proses akuisisi ini disebut tidak dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip business judgment rule (prinsip keputusan bisnis yang wajar dan hati-hati).
Terdakwa Lain dan Dissenting Opinion
Selain Ira Puspadewi, Majelis Hakim juga menjatuhkan vonis terhadap dua terdakwa lain, yaitu Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP (2020-2024), Harry Muhammad Adi Caksono, dan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP (2019-2024), Muhammad Yusuf Hadi, dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Meskipun Majelis Hakim mayoritas menyatakan bersalah, Ketua Majelis Hakim, Sunoto, menyampaikan dissenting opinion (perbedaan pendapat). Sunoto berpendapat bahwa:
-
Proses akuisisi tersebut adalah murni keputusan bisnis.
-
Penghitungan kerugian negara menggunakan penilaian dari KJPP yang tidak bersertifikat.
-
BPKP, sebagai lembaga yang berhak menghitung kerugian negara, menolak untuk melakukan perhitungan dalam kasus ini.
Namun, terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, vonis bersalah tetap dijatuhkan karena Majelis Hakim mayoritas menilai ketiga terdakwa terbukti merugikan keuangan negara dalam perkara yang diyakini KPK terjadi akibat rekayasa akuisisi.

































