JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka baru terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) wilayah Medan.
Detail Tersangka dan Peran Mereka
Dua tersangka yang ditahan adalah:
-
Muhlis Hanggani Capah (MHC): Aparatur Sipil Negara (ASN) DJKA Kemenhub, menjabat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Balai Teknik Perkeretaapian Medan 2021-2024.
-
Eddy Kurniawan Winarto (EKW): Pihak swasta.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan konstruksi perkaranya:
-
Pengondisian Paket Pekerjaan: MHC melakukan pengondisian paket pekerjaan rel kereta api, khususnya proyek Pembangunan Emplasemen dan Bangunan Stasiun Medan Tahap II (JLKAMB).
-
Modus ‘Asistensi’: Pengondisian dilakukan melalui koordinasi dengan Pokja (Kelompok Kerja) dan kegiatan ‘asistensi’ sebelum dan saat proses lelang.
-
Arahan Atensi: MHC, sebagai perpanjangan tangan dari tersangka sebelumnya Harno Trimadi (Direktur Prasarana), memberikan arahan kepada Ketua Pokja berupa daftar penyedia jasa yang akan dimenangkan (atensi).
-
Pertemuan Pengondisian: Pada akhir 2021 di Bandung, digelar kegiatan ‘asistensi’ yang dihadiri perwakilan penyedia jasa yang akan dimenangkan (PT Waskita Karya, PT Istana Putra Agung/IPA, dan PT Antaraksa) untuk membahas dokumen kualifikasi.
-
Aliran Dana:
-
PT IPA mengeluarkan uang untuk kepentingan MHC sebesar Rp1,1 miliar (diberikan secara transfer dan tunai pada 2022-2023).
-
PT IPA juga mengeluarkan uang untuk kepentingan EKW sebesar Rp11,23 miliar (ditransfer pada September-Oktober 2022).
-
Kedekatan Tersangka Swasta dengan Pejabat Kemenhub
-
Pihak PT IPA memberikan fee kepada MHC karena khawatir tidak memenangkan lelang. Sementara EKW diberi fee karena memiliki kewenangan dalam proses lelang, pengendalian kontrak, pemeriksaan keuangan, serta adanya dugaan kedekatan dengan pejabat struktural di Kemenhub.
-
KPK masih mendalami level pejabat di Kemenhub yang dekat dengan EKW, mulai dari eselon I, eselon II, hingga top manager, serta menelusuri aliran uang Rp11,23 miliar tersebut.
Kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.































