PEKANBARU – Kasus dugaan korupsi yang menimpa Gubernur Riau non-aktif, Abdul Wahid, tengah disorot publik dan pemerhati kebijakan karena adanya kejanggalan serius (anomali hukum) dalam penetapan status tersangkanya oleh KPK.
Anomali Bukti Mens Rea
-
Dua Dokumen Anti-Korupsi: Beberapa hari sebelum penetapan tersangkanya, Abdul Wahid secara resmi mengeluarkan dua dokumen tegas (instruksi via WhatsApp dan Surat Edaran) yang melarang keras korupsi, gratifikasi, dan pungutan liar di internal Pemerintah Provinsi Riau.
-
Kritik Pakar: Pemerhati Kebijakan Publik, Guswanda Putra, menyebut kontras antara komitmen tertulis ini dengan penindakan KPK sebagai “anomali hukum”. Secara hukum, dokumen pencegahan tersebut dinilai sebagai bukti exculpatory yang dapat melemahkan unsur mens rea (niat jahat) yang menjadi syarat utama pembuktian korupsi.
-
Pola Kepemimpinan: Kriminolog berpendapat bahwa seorang pemimpin dengan niat koruptif tidak mungkin secara terbuka merilis instruksi anti-pungli satu atau dua hari sebelum dugaan perbuatan koruptifnya.
Kecurigaan Adanya Kriminalisasi
-
Gangguan Jaringan Lama: Aktivis Riau mencurigai bahwa kasus ini berpotensi masuk dalam kategori “selective enforcement” (penegakan hukum selektif). Kebijakan penertiban internal yang digalakkan Wahid selama 2024–2025 diduga telah mengganggu jaringan lama yang menikmati keuntungan dari fee proyek dan anggaran.
-
Tuntutan Transparansi: Para penggiat anti-korupsi mendesak KPK untuk menjelaskan secara transparan mengapa tindakan preventif yang tegas justru diikuti penetapan tersangka dalam waktu yang berdekatan. Publik curiga penetapan tersangka ini tidak lepas dari dinamika kekuasaan dan resistensi yang muncul akibat upaya pembersihan internal.































