Los Angeles — Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan mantan Menteri Luar Negeri Otoritas Palestina Nasser Al-Kidwa menggelar diskusi terbuka mengenai prospek perdamaian antara Israel dan Palestina, merujuk pada pengalaman Oslo dan rencana damai 20 poin yang digagas oleh Donald Trump. Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Israel UCLA bersama Helen Diller Institute, dengan moderator Profesor Steven E. Zipperstein.
Dalam diskusi, Olmert dan Al-Kidwa membahas kegagalan perjanjian Oslo, terutama transisi dari kesepakatan sementara ke isu status permanen—seperti perbatasan, pengungsi, keamanan, dan kontrol Yerusalem—yang hingga kini menjadi batu sandungan utama negosiasi damai
Rencana 20 poin Trump menjadi sorotan utama diskusi. Beberapa poin rencana mencakup pertukaran tahanan antara Israel dan Palestina, pelucutan senjata kelompok bersenjata (termasuk Hamas), serta pembentukan dewan teknokrat netral untuk memimpin administrasi sementara di Jalur Gaza. Meski sejumlah aspek dianggap politis dan kontroversial, Olmert dan Al-Kidwa berpendapat bahwa elemen teknis dalam rencana tersebut menawarkan titik awal bagi negosiasi baru.
Al-Kidwa menekankan bahwa perdamaian tidak bisa dibangun hanya lewat kebijakan luar negeri yang “top-down”. Menurutnya, diperlukan keterlibatan masyarakat, rekonsiliasi internal, dan pengakuan hak-hak historis kedua pihak. Olmert mengingatkan pentingnya pengalaman klasik dan langkah-langkah pragmatis: menurutnya, “jangan menyerah pada kesempurnaan jika bisa merebut kemajuan konkret.”
Pihak penyelenggara berharap bahwa diskusi ini tidak sekadar retorika akademis, melainkan bisa menjadi acuan bagi pembuat kebijakan dan mediator internasional dalam merancang strategi perdamaian yang realistis untuk masa depan konflik Israel–Palestina.