Jakarta, 8 Oktober 2025 — Pengadilan Negeri di Jakarta telah menjatuhkan vonis bersalah dalam kasus pencemaran nama baik melalui media sosial yang melibatkan seorang aktivis sipil dan seorang pejabat daerah. Kasus ini kembali menjadi sorotan terkait kontroversi penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kasus ini bermula dari unggahan aktivis tersebut di platform media sosial X (dahulu Twitter) yang berisi kritik pedas dan tuduhan korupsi terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat daerah tersebut. Pejabat itu kemudian melaporkan aktivis tersebut dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik.
- Vonis: Hakim memutuskan bahwa unggahan aktivis tersebut memenuhi unsur pencemaran nama baik karena dinilai menyebar fitnah tanpa disertai bukti valid. Aktivis tersebut divonis hukuman penjara percobaan selama enam bulan dan denda puluhan juta rupiah.
- Pembelaan: Pihak aktivis berargumen bahwa unggahan tersebut merupakan bentuk kebebasan berekspresi dan kontrol sosial terhadap kekuasaan, bukan dimaksudkan untuk mencemarkan nama baik.
Kasus ini menambah daftar panjang kekhawatiran masyarakat sipil mengenai pasal karet dalam UU ITE yang dianggap sering digunakan untuk membungkam kritik dan mempidanakan warga negara.
- Dilema Kritik vs. Fitnah: Putusan ini kembali memicu perdebatan publik tentang batasan antara hak untuk berpendapat dan kewajiban untuk tidak memfitnah.
- Revisi UU ITE: Meskipun pemerintah dan DPR telah melakukan revisi terbatas pada UU ITE, para pegiat HAM menilai kasus-kasus seperti ini menunjukkan perlunya revisi yang lebih substansial agar pasal pencemaran nama baik tidak disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa.