Jenewa – Sistem hukum internasional yang selama ini menjadi fondasi bagi perdamaian dan hak asasi manusia global dilaporkan berada di bawah tekanan ekstrem pada tahun 2025. Organisasi hak asasi manusia terkemuka, Amnesty International, berulang kali menyuarakan kekhawatiran bahwa tatanan global yang berbasis aturan kini terancam oleh dua kekuatan utama: standar ganda (double standards) dari negara-negara besar dan tren praktik otoriter yang sedang menguat.
1. Pelemahan Lembaga Keadilan Global (ICC)
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah lembaga yang paling merasakan dampak langsung dari ancaman ini. Amnesty menyoroti adanya serangan sistematis yang bertujuan melemahkan independensi dan yurisdiksi ICC:
- Sanksi dan Intervensi Politik: ICC mengecam keras tindakan beberapa negara besar—khususnya Amerika Serikat—yang menjatuhkan sanksi terhadap hakim dan pejabat ICC. Sanksi tersebut secara eksplisit ditujukan kepada mereka yang terlibat dalam penyelidikan dugaan kejahatan perang, khususnya yang berkaitan dengan konflik besar. Amnesty menyebut tindakan ini sebagai “serangan terang-terangan terhadap independensi peradilan” dan upaya untuk menghambat penegakan akuntabilitas atas kejahatan internasional.
- Penolakan Yurisdiksi: Negara-negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma (perjanjian pendirian ICC) secara konsisten menolak yurisdiksi ICC untuk menyelidiki warga negaranya. Sikap ini menciptakan kekebalan hukum de facto bagi pihak-pihak yang kuat, sekaligus merusak legitimasi mahkamah di mata dunia.
2. Standar Ganda dan Disparitas Keadilan
Ancaman terbesar bagi hukum internasional adalah praktik standar ganda yang dilakukan oleh negara-negara berpengaruh:
- Penerapan Selektif: Hukum dan sanksi internasional sering kali diterapkan dengan keras terhadap pihak-pihak yang lemah atau negara-negara yang tidak memiliki sekutu kuat, namun diabaikan ketika pelanggaran serius dilakukan oleh sekutu atau negara adidaya.
- Contoh Gaza dan Sudan: Amnesty secara tegas menyoroti kontras respons internasional terhadap krisis di Gaza dan Sudan. Lembaga ini mencatat bahwa meskipun ada bukti kuat pelanggaran hukum humaniter di kedua lokasi tersebut, respons politik dan aksi kemanusiaan global terasa timpang. Perlakuan yang berbeda ini menciptakan persepsi bahwa keadilan dapat dibeli atau dihindari, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan terhadap seluruh sistem PBB.
3. Tren Otoritarianisme dan Penyusutan Ruang Sipil
Secara global, Amnesty International mencatat peningkatan tajam dalam praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip HAM dasar:
- Kriminalisasi dan Intimidasi: Praktik otoriter termanifestasi melalui kriminalisasi massal dan intimidasi terhadap para pembela HAM, jurnalis, dan aktivis di banyak negara. Serangan ini menggunakan alat hukum domestik—seperti undang-undang ITE dan hukum makar—untuk membungkam perbedaan pendapat, yang secara efektif menyusutkan ruang sipil (civil space).
- Penarikan Diri dari Mekanisme HAM: Beberapa negara memilih untuk keluar dari perjanjian atau dewan HAM PBB, atau bahkan menolak resolusi tertentu, sebagai upaya menghindari pengawasan internasional. Ini mencerminkan upaya untuk memprioritaskan kedaulatan di atas kewajiban HAM universal.
Amnesty menyerukan kepada komunitas internasional untuk segera kembali ke komitmen terhadap hak asasi manusia universal tanpa syarat. Jika tren pelemahan ini terus berlanjut, masa depan yang diatur oleh supremasi hukum dapat digantikan oleh era kekuasaan berdasarkan kekuatan (might makes right), di mana korban konflik tidak memiliki harapan untuk mendapatkan keadilan.