JAKARTA, 13 Oktober 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut tuntas kasus dugaan korupsi dalam penentuan dan pengelolaan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama (Kemenag). Hingga pertengahan Oktober 2025, meskipun penyidikan telah berjalan intensif dan sejumlah saksi kunci dipanggil, KPK belum juga mengumumkan nama tersangka.
Kasus ini disorot karena dugaan kerugian negara dan perekonomian yang fantastis, yang menurut perhitungan awal KPK bisa mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Alasan KPK Belum Tetapkan Tersangka
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penundaan penetapan tersangka bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena KPK masih menunggu hasil penghitungan kerugian keuangan negara yang sedang dilakukan secara paralel dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
- Audit BPK: KPK menyatakan penetapan tersangka akan dilakukan segera setelah hasil audit kerugian negara oleh BPK rampung. Hal ini penting untuk memastikan bukti yang terkumpul sinkron dan kuat secara hukum.
- Pembuktian Aliran Dana: Selain itu, penyidik juga masih mendalami aliran uang hasil korupsi, termasuk memburu sosok yang disebut KPK sebagai “juru simpan” (penampung uang) untuk menelusuri ke mana saja dana tersebut mengalir.
“Proses penyidikan dan audit BPK berjalan seiringan agar bukti-bukti yang terkumpul dapat saling menguatkan. Ini hanya soal waktu saja,” tegas Budi.
Panggilan Saksi Kunci dan Modus Operandi
Dalam beberapa pekan terakhir di awal Oktober 2025, KPK semakin memperluas pemeriksaan saksi, menyasar pejabat Kemenag di daerah dan juga asosiasi swasta penyelenggara haji:
1. Pejabat Kemenag
KPK memanggil beberapa pejabat Kemenag, termasuk Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri dan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenag Jawa Tengah, untuk mendalami penyalahgunaan wewenang dan proses penetapan kuota haji.
2. Keterlibatan Biro Travel (PIHK)
Penyidikan juga menyasar pihak swasta yang berperan sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). KPK memanggil Dewan Pembina Asosiasi Gaphura (Gabungan Pengusaha Haji dan Umrah Republik Indonesia) untuk menelusuri dugaan suap atau “uang pelicin” yang diberikan kepada oknum Kemenag.
Modus Operandi:
- Penyimpangan Kuota: Sesuai undang-undang, kuota haji dibagi 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, KPK menduga terjadi penyimpangan yang membagi kuota tersebut secara tidak proporsional.
- “Uang Percepatan”: Oknum Kemenag diduga menawarkan kuota haji khusus yang seharusnya berantrean kepada pihak travel dengan syarat membayar “uang percepatan” atau fee berkisar antara US$ 2.700 hingga US$ 7.000 (sekitar Rp 42 juta-Rp 115 juta) per kursi.
- Pengembalian Dana: KPK sebelumnya telah mengumumkan adanya pengembalian uang terkait kasus ini yang nilainya mendekati Rp 100 miliar. Uang ini diduga merupakan hasil penyalahgunaan yang dikembalikan oleh pihak-pihak terkait karena khawatir terungkap oleh penyelidikan.
Dengan pengusutan yang semakin mendalam terhadap pejabat Kemenag dan asosiasi travel, publik berharap KPK dapat segera menuntaskan kasus yang mencoreng citra ibadah ini dan menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau.