Jakarta, 13 Oktober 2025- Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mencuri perhatian publik setelah Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta resmi menguatkan putusan ganti rugi sebesar Rp266 miliar terhadap PT Hermes Sugar Indonesia (HSI). Putusan ini menjadi tonggak penting dalam penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia, terutama terkait penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) bagi korporasi yang terbukti lalai dalam menjaga wilayah konsesinya.
Perkara ini bermula dari gugatan perdata yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT HSI, yang dinilai bertanggung jawab atas kebakaran besar di wilayah Teluk Sampit dan Mentaya Hilir Selatan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Kebakaran tersebut menyebabkan kerusakan ekologis yang masif, mengakibatkan hilangnya tutupan hutan, terganggunya ekosistem, serta kerugian ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa PT HSI tidak dapat mengelak dari tanggung jawab hukum, mengingat wilayah konsesi mereka menjadi sumber utama kebakaran dan perusahaan tidak mampu membuktikan telah melakukan upaya pencegahan yang memadai. Oleh karena itu, prinsip strict liability diterapkan tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan secara langsung.
Putusan banding ini memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebelumnya yang telah menghukum PT HSI untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp266 miliar kepada negara. Jumlah tersebut mencakup biaya pemulihan lingkungan, kerugian ekologis, serta kerugian akibat pencemaran udara yang timbul dari insiden karhutla.
Pihak KLHK menyambut baik keputusan tersebut dan menegaskan bahwa langkah hukum ini merupakan bagian dari upaya serius pemerintah untuk menegakkan keadilan lingkungan dan menekan angka kebakaran hutan yang sering kali dipicu oleh kelalaian korporasi.
Sementara itu, PT HSI dikabarkan sedang mempertimbangkan langkah hukum lanjutan, termasuk kemungkinan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung guna meninjau kembali dasar hukum dan perhitungan ganti rugi yang ditetapkan.
Putusan ini sekaligus menjadi preseden penting bagi kasus-kasus lingkungan lainnya, memperkuat posisi negara dalam menuntut perusahaan yang abai terhadap tanggung jawab ekologisnya. Pemerintah berharap, ke depan, keputusan serupa dapat menjadi efek jera bagi korporasi lain agar lebih disiplin dalam menerapkan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan.