Jakarta, 13 Oktober 2025 — Aktivis sekaligus pegiat sosial Silfester Matutina kembali menjadi sorotan publik setelah dikabarkan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus fitnah dan pencemaran nama baik yang pernah menyeret namanya beberapa waktu lalu. Kasus ini terkait tuduhan yang pernah ia lontarkan terhadap mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK), yang dinilai mencoreng reputasi tokoh nasional tersebut.
Langkah hukum ini diambil setelah Silfester dan tim kuasa hukumnya menilai terdapat kejanggalan dalam proses hukum sebelumnya, terutama dalam aspek pembuktian dan penilaian terhadap bukti digital yang digunakan di pengadilan. “Kami menemukan bukti baru yang kuat, dan itu menjadi dasar pengajuan PK. Kami yakin kebenaran akan terungkap,” ujar salah satu pengacara Silfester dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/10).
Kasus ini bermula dari pernyataan Silfester di media sosial yang menuding Jusuf Kalla terlibat dalam dugaan praktik tertentu di lingkungan bisnis dan politik nasional. Pernyataan tersebut kemudian dianggap sebagai fitnah dan pencemaran nama baik, hingga akhirnya berujung pada proses hukum yang membuat Silfester dijatuhi hukuman oleh pengadilan tingkat sebelumnya.
Dalam vonis sebelumnya, pengadilan menyatakan Silfester terbukti melakukan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 Undang-Undang ITE. Ia divonis dengan hukuman penjara dan denda, meskipun sebagian hukumannya sempat ditangguhkan.
Kini, setelah melalui berbagai upaya hukum seperti banding dan kasasi yang ditolak, Silfester dan tim hukumnya berupaya menggunakan jalur Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir. Mereka berharap Mahkamah Agung dapat meninjau ulang putusan dengan mempertimbangkan bukti baru yang disebut “belum pernah dihadirkan di persidangan sebelumnya.”
Sementara itu, pihak Jusuf Kalla melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa mereka menghormati proses hukum dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme peradilan. “Kami tidak ingin memperkeruh situasi. Prinsipnya, hukum harus ditegakkan secara adil,” ujar kuasa hukum JK saat dihubungi awak media.
Kasus ini menjadi salah satu dari sekian banyak perseteruan hukum akibat ujaran di media sosial, yang menunjukkan bagaimana batas antara kebebasan berekspresi dan penghinaan publik masih sering diperdebatkan di Indonesia. Para pakar hukum komunikasi juga menilai bahwa kasus ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat untuk berhati-hati dalam menyampaikan pendapat di ruang digital, terutama ketika melibatkan nama tokoh publik.