Manila—Panggung politik Filipina diguncang oleh skandal korupsi besar-besaran yang melibatkan penyelewengan dana proyek pengendalian banjir. Puncaknya, Martin Romualdez, Ketua DPR (House Speaker) dan sepupu Presiden Ferdinand Marcos Jr., resmi mengundurkan diri pada Rabu, 17 September 2025.
Pengunduran diri ini terjadi kurang dari dua pekan setelah Presiden Senat Filipina, Francis Escudero, juga mengalami nasib serupa, menandai krisis integritas yang melanda parlemen negara tersebut.
Proyek Pengendalian Banjir Menjadi “Penjarahan Paling Parah”
Skandal ini berpusat pada dugaan praktik kotor dalam alokasi anggaran dan pelaksanaan proyek pengendalian banjir, terutama di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Jalan Raya (DPWH).
- Modus Operandi: Korupsi ini disinyalir melibatkan proyek infrastruktur fiktif (ghost projects) atau proyek yang tidak berjalan sesuai spesifikasi.
- Aktor Terlibat: Isu ini mencuat setelah pemilik sebuah perusahaan konstruksi buka suara, menuduh hampir 30 anggota DPR dan pejabat DPWH telah menerima suap tunai terkait proyek-proyek ini.
- Kerugian Fantastis: Skandal ini menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai 118,5 miliar peso (sekitar Rp 34 triliun) selama periode 2023–2025. Anggota Kongres Lorenz Defensor bahkan menyebut penyalahgunaan dana ini sebagai “bentuk penjarahan paling parah.”
Romualdez Mundur Demi Kepercayaan Publik
Dalam pidato pengunduran dirinya, Romualdez menegaskan bahwa keputusannya diambil demi menjaga kredibilitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mata publik.
“Isu yang membayangi sejumlah proyek infrastruktur telah menimbulkan pertanyaan yang membebani bukan hanya diri saya, melainkan juga lembaga yang kita layani bersama,” ujar Romualdez. “Setelah perenungan dan doa mendalam, saya dengan hati nurani yang bersih mengajukan pengunduran diri sebagai Ketua DPR Filipina.”
Kemarahan Publik Memicu Demonstrasi Besar
Skandal ini dengan cepat memicu gelombang kemarahan publik. Puluhan ribu warga Filipina turun ke jalanan Manila pada pertengahan September 2025 untuk memprotes korupsi. Mereka menuntut agar para pelaku korupsi dipenjara dan dana yang digelapkan dikembalikan.
Kemarahan warga memuncak karena di daerah rawan banjir seperti Bulacan, masyarakat masih harus berjuang di tengah genangan air, menunjukkan bahwa proyek-proyek yang didanai dengan uang triliunan tersebut sama sekali tidak efektif.
Presiden Ferdinand Marcos Jr. merespons situasi ini dengan membentuk komisi investigasi khusus yang dipimpin oleh mantan hakim Mahkamah Agung untuk menyelidiki skandal tersebut secara tuntas.