Jakarta — Dua puluh lima tahun setelah kejatuhan mantan Presiden Serbia, Slobodan Milosevic, dunia kembali diingatkan pentingnya mempertahankan komitmen terhadap keadilan internasional. Warisan konflik berdarah di Balkan pada 1990-an menunjukkan bahwa supremasi hukum internasional tetap menjadi fondasi utama untuk mencegah tragedi kemanusiaan serupa terulang.
Milosevic digulingkan dari kekuasaan pada Oktober 2000 setelah gelombang protes besar-besaran di Serbia. Ia kemudian diadili di Pengadilan Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY) atas tuduhan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Bosnia, Kroasia, dan Kosovo. Namun, proses pengadilannya tidak pernah selesai karena Milosevic meninggal dunia di sel tahanan pada 2006 sebelum vonis dijatuhkan.
Meski demikian, persidangan Milosevic menjadi tonggak penting bagi hukum internasional. Kasus tersebut membuktikan bahwa bahkan seorang kepala negara dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan luar biasa. ICTY kemudian menjadi model bagi pembentukan pengadilan-pengadilan internasional lain, seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Namun, dua dekade lebih setelah peristiwa itu, tantangan baru muncul. Meningkatnya ketegangan geopolitik di Eropa Timur, perang di Ukraina, dan kemunculan kembali wacana otoritarianisme membuat komitmen terhadap keadilan internasional kembali diuji. Banyak pihak menilai Eropa harus memperkuat dukungan terhadap lembaga-lembaga seperti ICC dan menolak segala bentuk impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat.
Selain itu, penegakan keadilan juga harus diiringi dengan upaya memperkuat rekonsiliasi dan pengakuan korban. Proses hukum terhadap pelaku kejahatan perang bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan kebenaran dan pemulihan.
Para pengamat hukum menegaskan bahwa pelajaran dari kasus Milosevic harus terus diingat: keadilan internasional tidak boleh tunduk pada tekanan politik. Ketika hukum ditegakkan secara konsisten, dunia dapat lebih tegas dalam menghadapi pelanggaran kemanusiaan, di mana pun dan oleh siapa pun dilakukan.
Dua puluh lima tahun setelah kejatuhan Milosevic, pesan moralnya masih sama — tidak ada pemimpin atau negara yang kebal hukum. Eropa, bersama komunitas internasional, harus terus membela prinsip keadilan global demi menjaga perdamaian dan martabat kemanusiaan.