JAKARTA, 20 OKTOBER 2025 – Dalam konteks hukum waris di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) telah menetapkan sebuah yurisprudensi penting yang berkaitan dengan persetujuan pembagian harta warisan. Yurisprudensi ini menegaskan bahwa sikap diam atau tidak adanya penolakan dari seorang ahli waris selama periode waktu tertentu dapat dianggap sebagai bentuk pengesahan atau persetujuan diam-diam terhadap pembagian harta warisan yang telah dilakukan atau diusulkan.
Penerapan yurisprudensi ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan menghindari gugatan waris yang diajukan setelah bertahun-tahun pembagian harta sudah berjalan, sehingga mengganggu stabilitas kepemilikan.
Konsep Inti Yurisprudensi
Prinsip utama dari yurisprudensi ini adalah:
- Persetujuan Implisit (Diam-diam): Dalam beberapa kasus, ketiadaan protes atau gugatan dari ahli waris selama jangka waktu yang lama terhadap cara pembagian harta oleh ahli waris lain atau pelaksana waris, dianggap sebagai persetujuan yang tersembunyi (implisit).
- Menciptakan Kepastian Hukum: Yurisprudensi ini melindungi pihak-pihak yang telah memegang dan menguasai harta warisan (misalnya tanah atau rumah) selama bertahun-tahun, agar kepemilikan mereka tidak diganggu gugat di kemudian hari.
- Beban Pembuktian: Ahli waris yang mengajukan gugatan setelah periode yang lama (misalnya lebih dari 10 tahun) memiliki beban pembuktian yang lebih berat untuk meyakinkan hakim bahwa sikap diam mereka bukan berarti persetujuan, melainkan karena adanya paksaan, ancaman, atau ketidaktahuan yang dapat dibenarkan.
Implikasi dalam Sengketa Waris
Keputusan Mahkamah Agung ini menjadi pedoman penting bagi pengadilan di tingkat bawah dalam memutus perkara sengketa waris, terutama yang berkaitan dengan:
- Harta yang Sudah Beralih Nama: Jika harta warisan telah dibalik nama dan dikuasai oleh salah satu ahli waris atau telah dijual ke pihak ketiga, dan ahli waris lain tidak pernah mengajukan keberatan selama kurun waktu yang wajar.
- Jangka Waktu Wajar: Meskipun tidak ada angka baku, pengadilan cenderung melihat lamanya waktu penguasaan harta tanpa protes sebagai indikator penting.
Yurisprudensi ini menegaskan bahwa hukum waris tidak hanya melihat pada teks formal, tetapi juga pada praktik dan fakta di lapangan yang telah berjalan, di mana ketidakaktifan atau diamnya ahli waris dapat diartikan sebagai penerimaan atas pembagian harta.