Jakarta, 13 Oktober 2025 – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Undang-Undang Hak Cipta. Revisi ini dinilai krusial untuk menciptakan payung hukum yang adaptif terhadap pesatnya perkembangan teknologi digital, khususnya dalam menghadapi isu Kecerdasan Buatan (AI) dan transparansi royalti.
DJKI bahkan telah mencanangkan tahun 2025 sebagai Tahun Tematik Hak Cipta dan Desain Industri sebagai bentuk komitmen serius pemerintah dalam memperkuat ekosistem HKI di Indonesia.
Empat Poin Krusial dalam Revisi UU Hak Cipta
RUU Hak Cipta yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 ini berfokus pada penyelesaian empat isu utama yang menjadi tantangan bagi para kreator dan industri kreatif:
1. Regulasi Karya Berbasis Kecerdasan Buatan (AI)
Peraturan yang berlaku saat ini belum secara spesifik mengatur perlindungan terhadap ciptaan yang dihasilkan atau dibantu oleh AI. Dalam RUU, DPR dan DJKI mengusulkan perlindungan bagi karya AI, dengan syarat adanya kontribusi manusia di dalamnya. Pengaturan ini bertujuan agar pemanfaatan AI dalam penciptaan dan distribusi karya tetap menghormati hak cipta dan mencegah sengketa di masa depan.
2. Transparansi dan Distribusi Royalti Digital
Masalah pembagian royalti yang tidak merata, terutama di platform digital, menjadi sorotan utama. Revisi UU akan mencakup upaya penguatan sistem pengelolaan royalti agar lebih transparan, akuntabel, dan berbasis digital. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) didorong untuk menggunakan sistem elektronik, seperti aplikasi pembayaran royalti, yang memungkinkan musisi dan pencipta memantau penggunaan karya mereka secara real-time dan menerima hak ekonomi yang lebih adil.
3. Tanggung Jawab Platform Digital
RUU ini mengusulkan penambahan definisi dan pasal baru untuk menegaskan bahwa penyelenggara platform digital dan penyelenggara pertunjukan adalah pihak yang memiliki tanggung jawab hukum dalam mencegah peredaran konten ilegal dan memastikan pembayaran royalti.
4. Perlindungan Karya Baru dan Tradisional
Revisi juga memperluas cakupan perlindungan, termasuk di dalamnya:
- Karya Jurnalistik: Akan diatur hak cipta dan hak terkait untuk produk-produk jurnalistik.
- Ciptaan Digital: Perlindungan ditegaskan tidak hanya untuk karya fisik, tetapi juga ciptaan digital dan aset teknologi.
- Ekspresi Budaya Tradisional (EBT): Pendaftaran Indikasi Geografis (IG) dan pencatatan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) terus didorong untuk melindungi warisan budaya, seperti Batik dan Pecel Rawon, dari klaim pihak asing.
Peningkatan Penegakan Hukum dan Edukasi
DJKI mencatat bahwa pelanggaran HKI, seperti pemalsuan merek dan pembajakan konten digital, terus menjadi masalah. Untuk menanggapi hal ini, DJKI akan memperkuat kolaborasi dengan kepolisian, kejaksaan, dan marketplace serta gencar melakukan edukasi HKI di berbagai daerah dan kampus, bahkan hingga ke tingkat sekolah.
Kreator didorong untuk memanfaatkan teknologi pelacakan seperti digital watermark dan fingerprinting sebagai bukti hukum efektif saat terjadi pelanggaran, sementara harmonisasi regulasi juga dilakukan agar sertifikat HKI dapat diakui sebagai aset bernilai ekonomi yang dapat dijadikan jaminan permodalan.