JAKARTA, 17 November 2025 – Kontroversi mengenai penempatan perwira aktif Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di sejumlah jabatan sipil kembali memanas. Seorang legislator dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan bahwa praktik tersebut, dalam konteks tertentu, tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, meskipun terdapat perbedaan tajam dalam penafsiran hukum.
Anggota Komisi III DPR RI dari PKS, menyatakan bahwa penempatan polisi aktif sebagai pejabat sipil dapat dibenarkan jika dilakukan melalui mekanisme penugasan atau perbantuan antar lembaga negara, dan bukan sebagai alih status permanen.
Saling-Silang Tafsir Hukum Jadi Akar Masalah
Menurut legislator tersebut, akar dari polemik ini adalah saling-silang tafsir hukum yang muncul dari perbedaan cara pandang terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Ada pandangan yang menyatakan bahwa setiap anggota Polri yang menduduki jabatan non-kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun dini. Namun, kami menafsirkan, apabila ini adalah penugasan dalam rangka mengisi kebutuhan organisasi yang bersifat strategis, ini masih dalam koridor UU Polri,” jelas legislator PKS tersebut seperti dilaporkan oleh Tempo.
Mereka berpendapat, selama penugasan tersebut memiliki landasan hukum yang kuat dan bersifat temporer, status keanggotaan aktif Polri tidak harus dicabut. Pandangan ini bertolak belakang dengan pihak yang menilai bahwa penempatan tersebut melanggar prinsip profesionalitas dan netralitas ASN yang seharusnya bebas dari pengaruh institusi militer atau kepolisian.
Mendesak Kejelasan Aturan
Pihak yang kontra, termasuk beberapa pengamat hukum, berargumen bahwa penempatan polisi aktif di jabatan sipil dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan dan berpotensi mengganggu independensi institusi sipil.
Legislator PKS tersebut mengakui bahwa perbedaan tafsir ini telah menciptakan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, ia mendesak agar pemerintah dan lembaga terkait segera mengeluarkan peraturan pelaksana yang lebih definitif. Tujuannya adalah untuk mengakhiri perselisihan interpretasi dan memberikan kejelasan mengenai status keanggotaan Polri saat menduduki posisi di luar instansi kepolisian.

































